Fenomena Baliho Kampanye dan Kesadaran Politik Kaum Milenial

Dimas Nugraha
4 min readAug 14, 2021

Belakangan ini masyarakat Indonesia digegerkan dengan fenomena unik yang cukup menuai kontroversi di khalayak publik. Sontak hal tersebut menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat, terkhusus kaum milenial. Bagaimana tidak, di tengah kondisi yang kunjung tidak menemui kepastian terang akibat pandemi yang berkepanjangan, masyarakat justru dapat dibilang semakin dibuat pusing dengan munculnya baliho-baliho iklan yang mengkampanyekan sosok-tokoh maupun politisi di berbagai sudut jalan, bahkan hampir masif tersebar di seluruh kota di berbagai penjuru nusantara.

Tentu hal ini memunculkan tidak sedikit tanggapan yang cenderung bersifat negatif di khalayak publik. Di kala seluruh elemen masyarakat berjuang untuk menghadapi-bahkan bertahan di tengah badai krisis multidimensi ini yang mana idealnya seluruh individu sudah semestinya saling bahu-membahu tanpa terkecuali baik secara materil maupun moril, dengan adanya fenomena ini justru masyarakat seakan makin mendapat beban mental. Mirisnya, fenomena ini disebabkan oleh tidak tepatnya para penanggungjawab kepentingan masyarakat menempatkan diri sebagaimana mestinya di tengah krisis yang sedang berlangsung.

Sibuk Sendiri

Tanggungjawab materil dan moril. Sebagaimana termaktub dalam dasar negara yang dianut oleh sistem pemerintahan negara, para pemangku kepentingan sudah semestinya menjadi garansi atas kekosongan perut dan rasa aman masyarakat. Hal-hal berikut tentunya dilakukan dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang tepat, seperti bantuan kebutuhan sehari-hari maupun upaya untuk membuat ketenangan baik pada ekosistem politik dan lingkungan masyarakat. Namun sungguh nahas, wacana bahkan upaya tersebut kiranya masih jauh dari panggang api. Yang ada, justru masyarakat disuguhkan dengan pertunjukan sirkus yang lagi-lagi menampilkan kompetisi antar individu (dalam hal ini para pejabat) yang saling bekerjasama untuk memenuhi kepentingan nafsu pribadinya.

Fenomena unjuk diri ini dapat kita amati pada tiap sudut-sudut jalan strategis yang sudah tersebar di berbagai belahan kota. Sebut saja salah satu upaya yang dilakukan oleh salah satu politisi PDI-P yang mana belakangan ini menjadi perbincangan hangat di khalayak publik, khususnya di media sosial. Tak tanggung-tanggung, dilansir sebuah kanal berita yang menyatakan bahwa baliho yang disebar oleh politisi partai tersebut mencapai 201 buah yang tersebar masif di berbagai daerah yakni di Jawa Tengah, Sumatera dan Yogyakarta (Tribun-video, 2021). Contoh tersebut hanya satu dari sekian banyak politisi yang belakangan ini justru sibuk sendiri dengan dirinya. Di sini pun penulis sempat membayangkan, apakah para politisi tersebut benar-benar memikirkan nasib perut masyarakat kecil yang tempo hari berlalu-lalang mencari sesuap nasi di jalanan yang mana diatasnya terpampang dengan gagah baliho-baliho mereka? Sepertinya tidak.

Belum tuntas dalam hal tanggungjawabnya yang melibatkan jutaan jiwa, individu-individu serakah tersebut justru menunjukan bahwa rong-rongan nafsu pribadinya semakin merajalela. Padahal jika kita amati kembali, tahun politik yakni 2024 masih jauh dari pelupuk mata. Lalu, apa motif para politisi tersebut yang terlebih dahulu tancap gas di tengah krisis yang masih membabi-buta seperti saat ini? jika kita melihat fenomena ini melalui kacamata etika politik, kiranya apa yang dilakukan para politisi tersebut secara langsung menunjukan bahwa etika mereka dalam hal berpolitik masih nol besar.

Sungguh kagum hati penulis melihat masih tegarnya masyarakat Indonesia dibalut kemirisan tersebut yang secara langsung berdampak besar bagi kehidupan masyarakat sehari-hari. Di satu sisi, fenomena ini menunjukan bagaimana tangguhnya masyarakat yang terus-menerus didzalimi oleh para penanggungjawabnya sendiri dengan terbukanya tabir kacau kinerja para pemangku kepentingan. Di sisi lain hal ini menjadi momentum kebangkitan bagi masyarakat, terkhusus kaum milenial yang semakin sadar bahwa keadaan mereka, terlebih bangsanya baik untuk saat ini atau kedepan semakin tidak baik-baik saja.

Tergugah dan Berbenah

Fenomena ini sontak menggugah kesadaran kaum milenial dengan maraknya tanggapan-tanggapan negatif dan protes atas tidak becusnya kinerja para pemangku kepentingan. Sebagai masyarakat digital native kaum milenial menuaikan komentar-komentarnya di lini masa media sosial yang tentu langsung bersinggungan dengan dunia luar. Uniknya, tidak sedikit komentar yang dilontarkan dalam bentuk satire langsung di akun-akun media sosial para pemangku kepentingan, sehingga ketika kita berbicara wujud demokrasi di era digital ini tentu hal ini semestinya dapat menjadi momentum bagi para pemangku kepentingan untuk langsung merespon keresahan yang terjadi, idealnya.

Selain menjadi bentuk tergugahnya kaum milenial untuk berjuang merubah keadaan saat ini, wujud kesadaran politik tersebut sudah semestinya dapat pula menjadi momentum kesinambungan bagi kaum milenial untuk lebih melek lagi terhadap keadaan politik bangsa ini. Tentu saja, hal ini didasari atas pandangan yang mulanya mungkin dapat dibilang rabun terkhusus bagi kaum milenial dalam menilai sekaligus menggunakan hak pilihnya pada kontestasi 5 tahunan yang menentukan nasib dirinya lebih-lebih bangsanya kedepan. Belum lagi, momentum ini juga menjadi ajang bagi kaum milenial untuk learning by looking tentang apa itu pelanggaran dan kriminalitas dalam kehidupan berpolitik, seperti fenomena money politics misalnya.

Bayangkan saja, berdasarkan data pemilih tetap Pemilu tahun 2019 yang dirilis oleh Bawaslu, jumlah total pemilih dari kalangan kaum milenial mencapai lebih dari 40%, yang artinya nasib bangsa ini kedepan bergantung pada 130 juta jiwa kaum milenial. Tentu dengan kesadaran tadi, kaum milenial sudah semestinya lebih mafhum untuk memilah calon-calon yang akan menjadi penanggungjawab atas kehidupan bangsa ini kedepan. Maka kiranya, sodoran uang tunai, dana ngopi, hibah bahkan posisi tertentu sudah semestinya bukan menjadi titik ukur kaum milenial untuk mengalamatkan hak pilihnya dalam kontestasi 5 tahunan. Apalagi yang hanya sekedar menampilkan kalimat-kalimat manisnya di pinggir jalan dengan baliho besar, sungguh hal yang kiranya konyol.

Oleh karena itu, momentum ini kiranya dapat menjadi titik tolak bagi bangkitnya anak-anak muda, yakni kaum milenial untuk dapat kembali bergerak. Terlebih lagi kaum milenial dikenal sebagai entitas yang kaya akan gagasan dan ide segar, sehingga hal tersebut kiranya dapat menambal kebocoran-kebocoran yang hampir saja membuat bangsa ini karam.

Akhir kata, tulisan ini merupakan guratan keluh-kesah penulis melihat kurang tepatnya perilaku para pejabat di masa kini baik sebagai role model sekaligus penanggungjawab atas nasib bangsa yang menjadikan bapak-ibu pemangku kepentingan disana tidak dapat menempatkan diri di posisi yang semestinya. Maka dari itu, tentu fenomena tersebut harus kita imbangi dengan mengepakkan sayap kebhinekaan kita lebih luas lagi untuk bersatu-padu sadar dan saling berbenah agar bahtera bangsa ini dapat kembali di lajur yang semestinya, yakni lajur kemashlahatan masyarakat. Mohon maaf kiranya jika terdapat kata atau unsur pembawaan yang kurang tepat. Wallahu’alam Bishawab.

Sleman, 5 Agustus 2021.

--

--

Dimas Nugraha
Dimas Nugraha

Written by Dimas Nugraha

Biasa dipanggil gono, tapi karepmu mau manggil apa.

No responses yet